Rabu, 05 Januari 2011

Pandangan Ibn Qayyim Al-Jawziyyah Tentang Persetujuan Anak Gadis Dalam Perkawinannya (Syariah)

ABSTRAK

Perkawinan merupakan transaksi (akad) yang istimewa dalam Islam melebihi transaksi lainnya semisal jual beli. Oleh karenanya ketika akan melakukan perkawinan tersebut perlu pertimbangan yang matang dan pemenuhan terhadap ketentuan-ketentuan yang mendukung tercapainya tujuan perkawinan.
Salah satu ketentuan yang diharapkan dapat membawa kepada tercapainya tujuan perkawinan tersebut adalah adanya persetujuan atau kebebasan anak gadis dalam menentukan calon suaminya.
Lebih lanjut tentang adanya persetujuan anak gadis tersebut, ternyata di kalangan fuqaha’ terjadi perbedaan pendapat. Hal ini diindikasikan dengan terpecah mereka kepada dua kubu. Kubu pertama menyatakan bahwa persetujuan hukumnya hanya sekedar sunat, tanpa ada persetujuan pun, perkawinan tetap sah. Sedangkan kubu lain berpendapat persetujuan adalah sesuatu yang menentukan (wajib). Artinya apabila persetujuan tidak ada, maka perkawinan batal alias tidak sah. Pada golongan pertama termasuk imam Sya>fi‘i<>s}id asy-Syari<‘ah atau yang lebih dikenal sebagai memelihara lima unsur pokok dalam syari'at agama (h}ifz ad-Dil). Dengan harapan apa yang menjadi tujuan syari‘ah berupa maslahah bisa dimunculkan.
Berdasarkan metode yang digunakan akhirnya bisa dilihat bahwa akar dari perbedaan pendapat diantara Ibn Qayyim al-Jawziyyah dengan mayoritas fuqaha’ adalah karena Ibn Qayyim al-Jawziyyah menggunakan mant}u>q nas} (makna eksplisit) yang dikuatkan dengan ‘illat as}-s}uqr dalam is|tinba>t hukumnya. Sementara mayoritas fuqaha’ menggunakan mafhu>m mukha>lafah (makna implisit) dalam is|tinba>t hukumnya yang dikuatkan dengan memakai ‘illat al-bikr.
Penelitian yang dilakukan penyusun juga memberikan jawaban bahwa pendapat Ibn Qayyim al-Jawziyyah tersebut sejalan dengan perundangan yang berlaku di Indonesia.

Membaca Ulang Konsep Perwalian Dalam Perspektif Mohammed Arkoun (Agama Islam)

Pendahuluan

Seiring dengan perkembangan kesadaran akan ketidakadilan jender saat ini, maka muncul sebuah kebutuhan untuk mengkaji ulang berbagai ketentuan yang ada di dalam hukum perkawinan Islam. Hukum perkawinan Islam seperti yang dibahas di dalam kitab-kitab fikih ternyata mengandung berbagai ketentuan yang bias jender. Hal yang demikian dapat dimaklumi karena berbagai kitab fikih tersebut disusun pada masa ketika episteme yang dominan mengikuti norma-norma androsentris.
Di antara ketentuan dalam hukum perkawinan Islam yang penting untuk dikaji ulang adalah berkaitan dengan masalah perwalian dalam perkawinan. Hal ini karena di dalam hukum perkawinan Islam keberadaan wali bagi perempuan merupakan rukun dalam perkawinan, sehingga seolah-olah menempatkan perempuan sebagai pihak yang tidak cakap hukum, sehingga harus diampu, karena jika tidak, maka perkawinannya tidak sah. Ketentuan yang demikian tentu saja sangat diskriminatif terhadap perempuan.
Untuk mengkaji ulang konsep perwalian dalam perkawinan tersebut maka sumbangan pemikiran Mohammed Arkoun dengan kritik nalar Islamnya akan sangat membantu. Dengan metode dekonstruksi maupun arkeologi pengetahuandapat membantu mengungkapkan hal-hal yang tak terpikirkan dalam tradisi maupun pemikiran Islam yang sudah berlangsung sepanjang sejarah.
Tulisan ini berusaha untuk melakukan pembacaan ulang terhadap konsep perwalian dalam perkawinan dengan menggunakan kritik nalar Islam Arkoun. Dalam mengkaji masalah tersebut, pertama akan dibahas mengenai biografi, karya, dan pemikiran Arkoun. Selanjutnya dengan menggunakan kontribusi pemikiran Arkoun akan dilakukan pembacaan ulang terhadap konsep perwalian dalam perkawinan. Dan terakhir akan disimpulkan hasil dari pembahasan dalam tulisan ini.

Konsep Keluarga Sakinah Menurut Presppektif Hukum Islam (syariah)

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Hidup berumah tangga merupakan tuntutan fit}rah manusia sebagai makhluk sosial. Keluarga atau rumah tangga muslim adalah lembaga terpenting dalam kehidupan kaum muslimin umumnya dan manhaj amal Islami> khususnya. Ini semua disebabkan karena peran besar yang dimainkan oleh keluarga, yaitu mencetak dan menumbuhkan generasi masa depan, pilar penyangga bangunan umat dan perisai penyelamat bagi negara.
Maka tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa keluarga merupakan pondasi awal dari bangunan masyarakat dan bangsa. Oleh karenanya, keselamatan dan kemurnian rumah tangga adalah faktor penentu bagi keselamatan dan kemurnian masyarakat, serta sebagai penentu kekuatan, kekokohan, dan keselamatan dari bangunan negara. Dari sini bisa diambil kesimpulan bahwa apabila bangunan sebuah rumah tangga hancur maka sebagai konsekuensi logisnya masyarakat serta negara bisa dipastikan juga akan turut hancur.
Kemudian setiap adanya sekumpulan atau sekelompok manusia yang terdiri atas dua individu atau lebih, tidak bisa tidak, pasti dibutuhkan keberadaan seorang pemimpin atau seseorang yang mempunyai wewenang mengatur dan sekaligus membawahi individu lainnya (tetapi bukan berarti seperti keberadaan atasan dan bawahan).
Demikian juga dengan sebuah keluarga, karena yang dinamakan keluarga adalah minimal terdiri atas seorang suami dan seorang istri yang selanjutnya muncul adanya anak atau anak-anak dan seterusnya. Maka, sudah semestinya di dalam sebuah keluarga juga dibutuhkan adanya seorang pemimpin keluarga yang tugasnya membimbing dan mengarahkan sekaligus mencukupi kebutuhan baik itu kebutuhan yang sifatnya dhohir maupun yang sifatnya bat}iniyah di dalam rumah tangga tersebut supaya terbentuk keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah. Di dalam al-Qur’ān disebutkan bahwa suami atau ayahlah yang mempuyai tugas memimipin keluarganya.
ألرّجال قوّامون علىالنّسآء.
Sebagai pemimpin keluarga, seorang suami atau ayah mempunyai tugas dan kewajiban yang tidak ringan yaitu memimpin keluarganya. Dia adalah orang yang bertanggung jawab terhadap setiap individu dan apa yang berhubungan dengannya dalam keluarga tersebut, baik yang berhubungan dengan jasādiyah, rūhiyah, maupun aqliyahnya. Yang berhubungan dengan jasādiyah atau yang identik dengan kebutuhan lahiriyah antara lain seperti kebutuhan sandang, pangan, tempat tinggal, ataupun yang sifatnya sosial seperti kebutuhan berinteraksi dengan sesamanya dan lain sebagainya. Sedangkan kebutuhan yang berhubungan dengan rūhiyah seperti kebutuhan
beragama, kebutuhan aqidah atau kebutuhan tauhid, dsb. Kemudian selanjutnya adalah kebutuhan yang bersifat aqliyah yaitu kebutuhan akan pendidikan.
Namun dari semua kebutuhan yang tersebut di atas, kebutuhan ru>hiyah lah yang paling penting. Yaitu apa saja yang berhubungan dengan aqi>dah islami>yah. Karena masalah ini berlanjut sampai kehidupan kelak di akherat. Allah SWT berfirman:
يآأيّها ألّذين آمنوا قوا أنفسكم وأهليكم نارا.
Selain sebagai seorang suami dan atau ayah yang mempunyai tanggung jawab terhadap keluarga yang dipimpinnya, laki-laki sebagai seorang muslim juga mempunyai tugas yang tidak kalah pentingya dan merupakan tugas pokok setiap muslim atau mu’min yaitu melakukan amar ma’ru>f nahi> munkar. Sesuai firman-Nya:
ولتكن منكم أمة يدعون الىالخير ويأمرون بالمعروف وينهون عن المنكر.
Perintah untuk amar ma’ru>f nahi> munkar ini di dalam al-Qur’ān disebutkan di beberapa surat, antara lain: Ali Imrān (3): 3 dan 114; al-Nisā’ (4): 114; al-Māidah (5): 63, 78, 79; al-An’ām: 69; al-A’rāf (7): 157, 165, 199; al-Taubah (33): 67, 71, 112; Hūd (11): 116; al-Nahl (16): 90; Maryam (19): 55; al-Hajj (22): 41, 77; an-Nūr (24): 21; Luqmān (31): 17; al-Z|āriyāt (51): 55; al-A’lā (87): 9.
Amar ma’ru>f nahi> munkar diperintahkan untuk dikerjakan di manapun dan kapanpun seorang muslim berada dan kepada siapa saja hal itu perlu dilakukan. Akan tetapi yang paling penting dan utama dilakukan amar ma’ru>f nahi> munkar adalah dimulai dari diri sendiri, keluarga dekat maupun jauh, baru kemudian kepada masyarakat secara umum. Juga dengan cara apapun sesuai dengan kondisi yang ada di lapangan, misalnya dengan ucapan saja ataukah diperlukan dengan perbuatan.
Karena urgennya mengerjakan amar ma’ru>f nahi> munkar ini, oleh beberapa orang yang merasa perlu mengajak orang-orang yang se-ide dengan mereka untuk membuat wadah atau perkumpulan (karena mereka tidak mau disebut sebagai organisasi, red) yang khusus mewadahi kegiatan mereka tersebut yaitu berupa dakwah atau tablig. Untuk masa sekarang ini telah banyak kelompok-kelompok atau jama’ah muslim yang memfokuskan diri bekerja di sektor dakwah dan salah satunya yang cukup besar menamakan dirinya dengan Jama>’ah Tablig.
Di dalam tulisan ini penyusun hanya memfokuskan pembahasan pada Jama>’ah Tablig (yang selanjutnya disebut dengan JT) dengan alasan bahwa JT yang mempunyai aliran sufiyah ini mempunyai model dakwah yang cukup menarik yaitu di samping mempunyai koordinasi yang bagus antar anggotanya juga yang terpenting adalah para anggotanya mempunyai semangat kemandirian yang tinggi, yaitu dengan mengandalkan biaya sendiri dan meluangkan waktunya untuk bertabligh ke berbagai penjuru desa, kota bahkan manca negara dalam jangka waktu tertentu antara 3-40 hari, 4-7 bulan bahkan setahun yang mereka biasa menyebutnya dengan khurūj fi sabilillah. Itu semua dilakukan mereka dengan meninggalkan keluarganya dan semua kesibukan yang sifatnya duniawi.
Alasan selanjutnya kenapa penyusun memilih JT adalah karena JT yang didirikan oleh Maulana Muhammad Ilya>s ini berupaya untuk mewujudkan ajaran Islam secara konsisten sesuai dengan ajaran dan yang dilakukan oleh Nabi SAW pada masa itu. Sehingga kadang-kadang apa yang dilakukan oleh mereka (anggota JT) tidak sesuai lagi dengan zamannya terutama masalah yang berhubungan dengan keseimbangan hak dan kewajiban di dalam rumah tangga.
Maulana Muhammad Ilya>s berpendapat setiap orang Islam baik laki-laki maupun perempuan harus mengikuti jejak langkah Nabi SAW. Jadi mesti menyeru manusia ke jalan Allah, kapan saja ada kesempatan untuk melakukan hal tersebut di hadapannya. Menyeru manusia ke jalan yang benar mestilah dijadikan tugas dalam kehidupannya. Maka sudah sepantasnya kalau mengaku sebagai umat Muhammad saw harus meneruskan tugas Beliau ber-amar ma’ru>f nahi> munkar yang komplit.
Untuk melaksanakan dakwah, Maulana Muhammad Ilya>s berpendapat diperlukan upaya khurūj, yaitu keluar rumah meninggalkan segala kesibukan duniawi dengan jangka waktu tertentu untuk meningkatkan keagamaannya dan ta’lim. Dengan demikian berdakwah dengan cara berkeliling (jaulah) merupakan sebuah keharusan, karena itu berarti tugas dakwah merupakan tugas setiap umat Islam secara individual, bukan diserahkan kepada institusi atau lembaga yang bergerak di bidang dakwah saja.
Amalan jaulah merupakan tulang punggung dalam menjalankan tugas-tugas jama’ah. Jika amalan ini benar dan sesuai dengan aturan yang ditetapkan oleh jama’ah niscaya amalan ini diterima oleh Allah SWT. Demikian juga Allah juga akan menerima amalan dakwah yang dilakukan oleh manusia. Jika Allah menerima dakwah seseorang, niscaya Allah juga akan menerima doa manusia sehingga Dia akan menurunkan hidayah-Nya.
Demikianlah pentingnya tanggung jawab seorang muslim terhadap kehidupannya di dunia sebagai hamba Allah yang dipercaya memikul predikat khali>fah fî> al-ard}. Dalam beberapa hal yang berkaitan dengan tanggung jawabnya terhadap keluarganya dan tanggung jawabnya sebagai muslim yang konsekuen terhadap perintah agamanya (di jalan Allah). Bagaimanakah sebenarnya konsep bentuk keluarga sakinah menurut mereka (JT) dalam menyikapi situasi dan kondisi yang mereka hadapi dan yang mereka kerjakan, serta bagaimana konsep tersebut jika dilihat dari sudut pandang hukum Islam. Pertanyaan-pertanyaan inilah yang melatarbelakangi penyusun untuk membahasnya dalam sebuah karya tulis.

B. Pokok Masalah
Berangkat dari latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka dapat diidentifikasikan pokok permasalahan yang perlu dibahas lebih lanjut, antara lain:

Konsekuensi Yuridis Harta Bersama Terhadap Kewajiban Suami Memberi Nafkah Dalam Kompilasi Hukum I

ABSTRAK

Kompilasi Hukum Islam (KHI) telah menentukan bahwa kewajiban memberi nafkah dibebankan kepada suami, yaitu tercantum dalam pasal 80 ayat (4). Di samping ketentuan tersebut, juga diatur ketentuan mengenai harta bersama. Menurut pasal 1 huruf f KHI bahwa harta bersama adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri maupun bersama suami isteri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapa pun. Konsekuensi yang muncul dari harta bersama yaitu perbuatan hukum atas harta bersama harus mendapat persutujuan kedua belah pihak dan pembagian atas harta tersebut dilakukan secara berimbang. Jika ketentuan mengenai harta bersama dikaitkan dengan kewajiban suami memberi nafkah maka dapat memunculkan persoalan hukum tatkala isteri melakukan claim bahwa harta yang diberikan selama perkawinan sebagai nafkah dimaknai sebagai harta bersama. Kemudian aturan tersebut juga menunjukkan ketidakadilaan bagi suami karena di samping ia berkewajibaan memberi nafkah ia juga terikat dengan ketentuan bahwa pembagian harta bersama dilakukan secara berimbang.
Pendekatan yang digunakan dalam skripsi ini adalah normatif-yuridis dengan bangunan teori holistik dan equal partner. Ketentuan-ketentuan normatif yang tercantum dalam al-Qur’an dan hadis dan ketentuan yuridis yang tercantum dalam KHI dikaji secara menyeluruh dan terpadu baik terhadap harta bersama maupun nafkah. Setelah itu, dicari konsekuensi yuridis harta bersama terhadap kewajiban suami memberi nafkah.
Hasil yang dicapai dari penelitian ini adalah menghasilkan tiga konsekuensi yuridis harta bersama terhadap kewajiban suami memberi nafkah yang bersifat pilihan. Pertama, tanggung jawab bersama suami isteri dalam ekonomi keluarga. Kedua, pemisahan harta suami isteri dalam perkawinan. Ketiga, kompromi aturan harta bersama dan kewajiban suami memberi nafkah.

Dominasi Kekuasaan Dan Resistensi Masyarakat

INTISARI

Kebijakan Otonomi Daerah telah memberikan kesempatan yang luas bagi
pemerintahan di setiap daerah untuk menerapkan kebijakan pembangunan yang
lebih memihak kepada rakyat. Sehingga pemerataan pembangunan sampai ke
daerah pedalaman dapat dirasakan oleh masyarakat. Keleluasaan Pemerintah
Daerah untuk mengurusi dirinya sendiri tidak selamanya menimbulkan dampak
positif bagi masyarakat, di sebagian wilayah justru menimbulkan dampak negatif
bagi masyarakat dengan terjadinya dominasi kekuasaan. Dominasi kekuasaan
dalam pembangunan telah menimbulkan konflik vertikal antara Pemkot
Pekanbaru dan investor di satu pihak dengan pedagang tradisional pasar
Senapelan di pihak yang lain. Di mana, dominasi kekuasaan tersebut
menimbulkan tindakan perlawanan dari pedagang.
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
deskriptif –kualitatif. Lokasi penelitian berada di kelurahan Padang Bulan
kecamatan Senapelan kota Pekanbaru, di mana merupakan salah satu dari empat
pasar tradisional utama yang berada di jantung kota Pekanbaru, dengan jumlah
pedagang mencapai 2000 orang. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara,
observasi, dan pengumpulan dokumen- dokumen. Penentuan informan dilakukan
dengan teknik purposif, di mana informan tertentu dianggap mewakili stake
holder yang berkonflik. Wawancara dan observasi digunakan sebagai data primer,
sedangkan data sekunder diperoleh melalui pengumpulan dokumen.
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa dominasi kekuasaan dilakukan
melalui: 1) pembuatan kebijakan non partisipatif, 2) tindakan represi, dan 3)
kooptasi terhadap media massa dan organisasi pedagang. Perlawanan pedagang
dapat dibagi menjadi dua: 1) perlawanan secara terbuka atau terang- terangan
menentang kebijakan tersebut melalui aksi unjuk rasa, mogok makan, pernyataan
tertulis, 2) perlawanan sembunyi atau tidak langsung melalui aksi mengumpat,
merusak TPS, tidak menempati TPS, tidak membayar cicilan dan tidak mendaftar
ulang. Selain itu, pihak- pihak yang mendukung perlawanan pedagang dapat
dibagi dua: 1) pendukung spesialis, datang dari kalangan mahasiswa- LSM dan
intelektual, 2) pendukung umum, datang dari tokoh masyarakat setempat.
Resolusi atau upaya damai dilakukan melalui mediasi dan konsiliasi. Mediasi
diupayakan oleh DPRD Pekanbaru dan IKMR, sedangkan konsiliasi diupayakan
oleh Pemkot Pekanbaru bekerjasama dengan investor. Namun demikian,
penelitian ini menemukan kenyataan bahwa mediasi dan konsiliasi tidak berjalan
dengan efektif. Yang terjadi adalah praktek dominasi kekuasaan yang dilakukan
kembali oleh Pemkot dan investor terhadap upaya - upaya damai tersebut sehingga
pedagang berada dalam posisi tersubordinasi atau tertindas dan tidak berdaya.
Kata kunci: Dominasi Kekuasaan, Perlawanan, dan Resolusi Konflik

Angkringan dan Mahasiswa (Suatu studi tentang Pemaknaan Angkringan Oleh Para Mahasiswa Unsoed)

RINGKASAN
Keterbatasan pertumbuhan sektor modern dalam menyerap tenaga kerja mengakibatkan mereka yang tidak dapat diserap oleh sektor industri modern mencari alternatif penghasilan diluar sektor tersebut. Muncul kemudian apa yang disebut dengan sektor informal. Sektor informal sebagai fenomena yang khas di negara-negara berkembang bisa berupa kegiatan produksi dan distribusi barang maupun jasa. Misalnya saja pedagang kaki lima, pedagang asongan, rentenir, tukang kredit dan unit-unit kegiatan lainnya. Salah satu contoh pedagang kaki lima yang akan dibahas disini ialah pedagang angkringan.
Penelitian ini berjudul ”Angkringan dan Mahasiswa” yang bertujuan untuk mengetahui makna angkringan oleh mahasiswa dan motivasi mahasiswa makan di angkringan.
Penelitian ini mengambil lokasi angkringan yang terletak di sekitar lingkungan kampus Unsoed Purwokerto. Sasaran dari penelitian ini mencakup dua hal pertama mahasiswa yang intens melakukan aktivitas nongkrong di angkringan. Yang kedua para penjual angkringan dalam memberikan informasi tambahan. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif. Teknik pengambilan informan yang digunakan adalah purposive sampling dengan mengambil informan tujuh (tujuh) orang informan di tambah satu informan pendukung yaitu penjual angkringan. Penelitian ini menggunakan analisis kualitatif deskriptif.
Hasil dari penelitian ini bahwa mahasiswa dalam memaknai warung angkringan sangat beragam. Ada yang memaknai angkringan yang suasana yang tradisional dan nyaman, suasana yang berbeda dari warung lainnya, sebagai tempat nongkrong lintas batas, sebagai tempat refreshing, arena diskusi dan tempat kenangan. Pada prinsipnya setiap makna yang keluar dari insani dapat diterima oleh insani yang lainnya. Dari segi motivasi mahasiswa datang ke angkringan yaitu dorongan rasa senang, dorongan dan kebutuhan untuk mencari teman, mencari suasana yang berbeda yang ada di warung angkringan dan adanya rasa bosan makan di tempat yang suasananya mewah atau modern.
Implikasi dari penelitian ini adalah sebagai berikut angkringan telah memberikan semacam peluang bisnis bagi masyarakat kelas menengah kebawah. Adanya pemberdayaan angkringan dan perkumpulan para penjual angkringan agar mempererat tali persaudaraan antar penjual angkringan.

Analisa Faktor-Faktor Penyebab Prostitusi

ABSTRAK

Ahmad Fikri. Analisa Faktor-faktor Penyebab Prostitusi (Sebuah Penelitian di Warung Remang-remang Desa Pondok Udik, Parung, Bogor). Skripsi. Depok: Program Sarjana STAI Madinatul Ilmi. 2003.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor penyebab timbulnya prostitusi di wilayah warung remang-remang desa Pondok Udik Parung, Bogor.
Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivis, yaitu yang melihat bahwa realitas bergantung kepada definisi subyektif individu. Paradigma ini lebih mengutamakan pemahaman terhadap konteks dan makna-makna dalam memahami realitas, sehingga akan muncul penjelasan yang bermacam-macam. Sedangkan tipe penelitian ini termasuk ke dalam tipe penelitian kualitatif dengan teknik pengumpulan data menggunakan document analysis, depth interviewing, dan unstructure observation (wawancara tidak terstruktur).
Dari hasil penelitian diperoleh informasi bahwa faktor-faktor penyebab para wanita terpaksa terjun ke dunia malam yang "hitam" adalah karena beberapa faktor, yaitu: (a) faktor ekonomi, (b) faktor putus cinta yang membuat wanita frustrasi, (c) faktor lingkungan, (d) faktor hasrat seks, (e) dan dikarenakan tipuan dari para mucikari.
Dari kelima faktor prostitusi di atas, ternyata faktor yang paling dominan adalah faktor yang pertama, yaitu faktor ekonomi. Faktor ekonomi ini secara operasionalnya adalah susah mendapatkan pekerjaan di Ibukota dengan bekal pendidikan yang minim sedangkan kebutuhan terhadap "bertahan hidup" merupakan sesuatu yang urgen, maka kebanyakan dari wanita yang dikarenakan desakan ekonomi yang kuat mendorong mereka untuk menjalani hidup sebagai "wanita malam".